Jumat, 01 Oktober 2010

Membantah Syubhat Seputar Bid'ah Hasanah

Membantah Syubhat Seputar Bid'ah Hasanah
(diambil dari kitab-kitab mana dalilnya I).
* Bila ada yang berkata,” bukankah ada dalil yang menunjukkan bahwa kata kullu tidak menunjukkan kepada semua ? yaitu firman Allah Ta’ala :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِى الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ.
“(Angin) yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa”. (Al Ahqaf 26 : 25).
Dalam ayat ini Allah menggambarkan bagaimana angin menghancurkan segala-galanya sehingga orang kafir tersebut terkubur di dalam bumi. Kendati disebutkan bahwa angin tersebut menghancurkan kulla syai’in (segala sesuatu), ternyata rumah orang-orang kafir itu tidak ikut hancur. Ini membuktikan bahwa kata kullu tidak selalu berarti semua. Dalam ayat diatas, rumah orang-orang kafir yang tidak hancur tersebut merupakan salah satu pengecualian.
** Jawaban : Sesungguhnya kata kullu dalam ayat tersebut tetap pada makna semua, karena dalam ayat itu dikatakan : بأمر ربها (Dengan perintah Rabb-Nya), maksudnya adalah bahwa angin tersebut menghancurkan semua yang Allah perintahkan untuk menghancurkannya, adapun yang tidak diperintahkan untuk dihancurkan tidaklah hancur. Inilah yang difahami oleh para ahli tafsir.
Ibnu Jarir berkata,” Sesungguhnya yang dimaksud firman Allah تدمر كل شيء بأمر ربها yaitu مما أرسلت بهلاكها (Yang angin tersebut diutus untuk menghancurkannya) karena angin itu tidak menghancurkan Hud dan orang yang beriman kepadanya”.
Al Qurthubi berkata,” Maksudnya segala sesuatu yang dilewati angin berupa kaumnya Hud dan harta mereka”. Ibnu ‘Abbas berkata,” Artinya Segala sesuatu yang angin tersebut diutus untuk (menghancurkannya)”.
Sehingga ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mengatakan bahwa kata kullu tidak selalu berarti semua.
* Ada yang berkata,” Hadits “Kullu bid’atin dlolalah” disana ada sesuatu yang dikecualikan. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak”. (HR Muslim).
Perhatikan kalimat “yang tidak bersumber darinya (agama)”. Inilah kalimat yang menjelaskan bahwa tidak semua bid’ah sesat. Karena yang tertolak adalah yang mengadakan sesuatu yang baru yang tidak bersumber dari agama, adapun bila mengadakan sesuatu yang baru yang bersumber dari agama maka tidaklah tertolak.
Berdasarkan sabda Rosulullah saw diatas, maka hadits “kullu bid’atin dlolalah” dapat diartikan sebagai berikut : Semua bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari Al Qur’an dan Assunnah.
** Jawaban pertama : sesungguhnya pemahaman seperti ini tidak pernah diucapkan oleh para shahabat, tidak pula tabi’in, tidak pula para ulama setelahnya, tidak pula imam yang empat. Ia hanyalah pemahaman sebagian orang di zaman ini yang keilmuannya tidak sampai kepada ilmu para ulama terdahulu.
Dan telah kita bahas bahwa sesuatu yang bersumber dari agama tidak boleh disebut bid’ah secara istilah syari’at. Maka perkataannya “Semua bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari Al Qur’an dan Assunnah” adalah batil, karena yang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah tidak disebut bid’ah.
Kedua : imam Bukhari no 2697 dan Abu Dawud no 3597 meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadz :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak ada padanya (agama), maka dia tertolak.”
Dalam hadits ini dengan lafadz ma laisa fiihi, sementara lafadz sebelumnya ma laisa minhu, dimana kata min disini ditafsirkan oleh kata fihi karena hadits itu saling menafsirkan. Dan kalimat ma laisa fiihi ini sangat sepadan dengan hadits “Kullu bid’atin dlolalah”.
Ketiga : Secara I’rab bahasa arab, kalimat “Ma laisa minhu atau ma laisa fihi” berkedudukan sebagai na’at (sifat) untuk kalimat “man ahdatsa” artinya bahwa sifat muhdats adalah yang tidak bersumber dari agama atau tidak ada dalam agama, adapun bila bersumber dari agama maka tidak disebut muhdats. Sehingga tidak boleh dikatakan bahwa muhdats ada dua macam : muhdats yang bersumber dari agama dan muhdats yang tidak bersumber dari agama.
Keempat : Pemahaman dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,” yang tidak bersumber darinya (agama)”. Untuk menetapkan adanya muhdats yang bersumber dari agama, adalah pendalilan secara mafhum (konteks), dan mafhum yang masih dugaan tersebut ternyata bertentangan dengan manthuq (teks) hadits ”Kullu bid’atin dlolalah (Semua bid’ah adalah sesat)”. Dalam kaidah ushul fiqih, bila mafhum bertabrakan dengan manthuq maka didahulukan manthuq.
Kelima : Imam Muslim meriwayatkan dengan lafadz :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amal yang tidak ada diatasnya urusan (agama) kami, maka dia tertolak”.
Perhatikan kalimat “Laisa ‘alaihi amruna” (Yang tidak ada diatasnya urusan agama kami), ia adalah na’at (sifat) untuk amal, dan amal disini berbentuk nakirah, sedangkan nakirah mempunyai makna umum, artinya semua amal yang tidak di atas dalil agama adalah tertolak, dan lafadz ini membantah adanya pembagian bid’ah menjadi hasanah dan dlolalah. Inilah yang di fahami para ulama.
Berkata imam An Nawawi rahimahullah,” Hadits ini adalah kaidah yang agung dari kaidah-kaidah islam, ia termasuk jawami’ kalim Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia tegas menolak semua bid’ah dan sesuatu yang diada-adakan. Dan dalam riwayat kedua (yaitu riwayat : man ‘amila amalan..) terdapat tambahan, yaitu terkadang sebagian pelaku bid’ah ngeyel melakukan bid’ah yang telah didahului sebelumnya, jika kita berhujjah kepadanya dengan riwayat pertama (yaitu riwayat : man ahdatsa fi amrina hadza..) ia berkata,” Aku tidak membuat sesuatu yang baru”. Maka kita berhujjah dengan riwayat yang kedua yang tegas menolak semua yang muhdats (yang diada-adakan).”
* Ada yang berkata,” Ada hadits lain yang menunjukkan bahwa tidak semua bid’ah sesat yaitu hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi :
وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلَ آثاَمِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا.
“Dan barangsiapa yang mengadakan sebuah bid’ah dlolalah (sesat), yang tidak diridlai Allah dan Rasul-Nya, maka dia memperoleh dosa sebanyak dosa orang yang mengamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”.
Dalam hadits di atas disebutkan,”Barangsiapa yang mengadakan sebuah bid’ah dlolalah (yang sesat).” Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua bid’ah sesat, andaikan semua bid’ah sesat tentu beliau saw akan langsung berkata,”Barangsiapa yang mengadakan sebuah bid’ah.” Dan tidak akan menambahkan kata dlolalah, maka logikanya adalah ada bid’ah yang tidak dlolalah (sesat).
** Jawaban : Hadits terbut dikeluarkan oleh At Tirmidzi dalam sunannya no 2677 ia berkata : Haddatsana Abdullah bin Abdurrahman akhbarona Muhammad bin ‘uyainah dari Marwan bin Mu’awiyah Al Fazari dari Katsir bin Abdillah yaitu ibnu ‘Amru bin ‘Auf Al Muzani dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Bilal bin Al Harits… Al Hadits.
Qultu : sanad hadits ini dlo’if (lemah) karena ada tiga perawi yang cacat yaitu :
1. Muhammad bin ‘uyainah disebutkan oleh ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqat, namun sebatas keberadaannya dalam kitab tersebut tidak menjadikannya tsiqah, karena ibnu Hibban terkenal suka mentiqahkan perawi-perawi majhul.
Ibnu Hajar berkata dalam Taqributtahdzib,”Maqbul”. Maksudnya bila dimutaba’ah, jika tidak maka layyin haditsnya, dan disini ia tidak dimutaba’ah.
2. Katsir bin Abdullah dikatakan oleh imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in,”Laisa bisyai’in”.
Al Aajurri berkata,”Aku bertanya kepada Abu Dawud tentangnya (Katsir bin Abdlillah), ia menjawab,” Ia salah satu perawi kadzdzab (tukang berdusta), aku mendengar Muhammad bin Al Wazir Al Mishri berkata,” Aku mendengar Asy Syafi’I disebutkan padanya Katsir bin Abdillah bin ‘Amru maka beliau berkata,”Ia adalah salah satu perawi kadzdzab”.
Ad Daroquthni dan An Nasai berkata,” matruk haditsnya”.
Ibnu Hibban berkata,”Ia (Katsir) meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya sebuah naskah yang maudlu’ (palsu), tidak halal menyebutkannya dalam kitab-kitab, dan tidak halal juga meriwayatkan darinya”.
3. Abdullah bin ‘Amru dikatakan oleh Al Hafidz dalam taqribnya,” Maqbul”.
Maka hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun perkataan At Tirmidzi mengenai hadits ini,”Hadits Hasan”. Adalah tidak hasan, karena telah kita ketahui bahwa sanadnya lemah bahkan sangat lemah.
* Ada yang berkata,” Ada hadits lain yang menunjukkan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, yaitu hadits riwayat Muslim Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أُجُوِْرِهمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
“Barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa mencontohkan suatu perbuatan buruk di dalam islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.”
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan adanya sunnah yang baik dan sunnah yang buruk sehingga diambil kesimpulan adanya bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk.
Jawaban : sesungguhnya diantara tatacara memahami hadits adalah dengan melihat sebab terjadinya hadits tersebut, sehingga kita dapat memahaminya dengan benar. Dengarkanlah kisah berikut ini yang merupakan sebab terjadinya hadits itu :
Jarir radliyallahu ‘anhu berkata,” Kami berada disisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di waktu siang, lalu datanglah suatu kaum dengan telanjang kaki, telanjang badan dan memakai nimar (sarung wol yang bergaris-garis) sambil menghusunkan pedang, kebanyakan mereka dari Mudlor bahkan semuanya. Maka berubahlah wajah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena melihat mereka yang sangat papa, beliaupun masuk lalu keluar, dan menyuruh Bilal untuk adzan kemudian iqomat, setelah sholat beliau berkhutbah :
“Wahai Manusia, bertaqwalah kamu kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa… sampai akhir ayat, dan ayat dalam surta Al Hasyr : 18. Hendaklah seseorang bershodaqoh dengan dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, sha’ burrnya, sho’ kurmanya sampai beliau bersabda : walaupun dengan setengah kurma”.
Lalu datanglah seseorang dari kalangan anshor dengan membawa kantung yang tangannya hampir tidak bisa membawanya bahkan tidak mampu, kemudian orang-orang pun mengikuti sehingga aku melihat dua tumpukan besar dari makanan dan pakaian, maka aku melihat wajah Rosulullah berseri-seri bagaikan perak bersepuh emas, lalu beliau bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أُجُوِْرِهمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
“Barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa mencontohkan suatu perbuatan buruk di dalam islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.”
Perhatikanlah saudaraku, hadits tersebut berhubungan dengan shodaqoh yang dilakukan oleh seorang shahabat yang diikuti oleh shahabat lain, tentu pembaca semua mengetahui bahwa shodaqoh bukanlah perkara yang diada-adakan, maka berdalil dengan hadits tersebut untuk menyatakan adanya bid’ah hasanah adalah sebuah pemahaman yang aneh.
Mana dalilnya hal 21.
Ibnu Jarir, Jami’ Al Bayan ‘an ta’wil aayil qur’an 13/35.
Al Qurthubi, Al jami’ li ahkamil qur’an 16/206.
Mana dalilnya hal 21.
Yaitu Abdullah Al ghummari Al Mubtadi’ dalam bukunya : itqon ashin’ah fi tahqiqi ma’na bid’ah hal 22. Dan penulis buku mana dalilnya membeo dari buku tersebut.
Sayangnya penulis buku mana dalilnya tidak bisa membedakan kedua lafadz tersebut.
Muslim 3/1343 no 1718. Tahqiq Muhamad Fuad Abdul baqi.
An nawawi, sya-rah shahih Muslim 12/242 cet. III darul ma’rifah tahqiq Syaikh Khalil Makmun Syiha.
Mana dalilnya hal. 22.
No 6252 tahqiq Abul Asybal Shoghir Ahmad.
Tahdzibuttahdzib 8/422 cet. I Darul kitab al islami.
Muslim 2/705 no 1017.

Ditulis oleh Ust Abu Yahya Badrusalam, Lc
Di copas : http://www.abuyahyabadrusalam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=37:membantah-syubhat-seputar-bidah-hasanah&catid=11:manhaj&Itemid=23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar